SELAYANG
PANDANG
KABUPATEN
PESISIR BARAT PROPINSI
LAMPUNG
Drs.
Ali Imron, M.Hum
Januari – 2014
SELAYANG
PANDANG
KABUPATEN
PESISIR BARAT PROPINSI
LAMPUNG
Drs. Ali Imron M.Hum
I. Selayang Sejarah Pemerintahan
Pada masa kekuasaan Inggris di Nusantara tahun 1811 – 1816, wilayah pesisir barat Lampung dengan pusat pemerintahan dan pusat aktifitas ekonominya di Krui dimasukkan dalam wilayah administrasi Regenschap (Karesidenan) Bengkulu. Pada saat terjadi penjanjian London tahun 1864 (Tractat London) yang mengakhiri perang di Eropa antara Inggris dan Belanda, maka dilangsungkanlah pertukaran daerah jajahan. Belanda memperoleh Bengkulu dan berhak meluaskan jajahannnya ke arah utara dari pulau Sumatera, sedang Inggris diakui haknya oleh Belanda atas Malaka dan Tumasik atau Singapura.
Tahun 1817 Pemerintah
Kolonial Belanda meresmikan terbentuknya Karesidenan Lampung (Lampongsche Districten) di bawah
seorang residen yang berkedudukan di
Terbanggi sebelum kemudian pindah ke Telukbetung. Untuk melengkapi struktur
pemerintahan, tahun 1873, Belanda membagi Lampung menjadi 6 onderafdeling
(kawedanan). Karena kebutuhan manajemen kekuasaan yang semakin kompleks, tahun
1917 Belanda melengkapi struktur pemerintahan di Lampung menjadi 2 afdeling:
Telukbetung dan Tulangbawang dengan 6 onderafdeling, yakni Telukbetung,
Semangka, Katimbang, Tulangbawang, Seputih, dan Sekampung.
Karesidenan
Bengkulu juga dibagi menjadi beberapa wilayah pemerintahan Afdelling, Onderafdelling,
dan Distrik. Salah satu Onderafdelling
itu adalah Onderafdelling Krui, yang kala itu wilayahnya
meliputi seluruh daerah Lampung Barat sekarang. Ibukota Onderafdelling
Krui adalah Distrik Krui, yang berada di pesisir Lampung Barat. Tahun 1928 struktur kekuasaan lokal marga
dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan, berkedudukan di bawah onderafdeling
melalui ordonansi Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengewestan.
Pada
masa pemerintah pendudukan Jepang menguasai Bengkulu dan Lampung tahun 1942,
daerah Onderafdelling Krui dikembalikan ke dalam Regenschap
Lampung, karena secara etnik, adat-istiadat dan bahasa penduduk Onderafdelling
Krui termasuk dalam rumpun etnik Lampung.
Peristiwa penggabungan dan penyerahan itu dilaksanakan di Liwa pada
tahun 1944. Syucokan (penguasa
militer Jepang) Bengkulu datang ke Liwa untuk menyerahkan Onderafdelling Krui ke dalam Karesidenan
Lampung yang diterima Syucokan (penguasa
militer jepang) Lampung. Sejak saat itulah eksistensi
Krui sebagai pusat politik pemerintahan dan perdagangan di pesisir barat
Lampung berada di bawah administratif pemerintahan penguasa militer Jepang di Liwa,
Lampung.
Peristiwa
penggabungan tersebut diikuti dengan beberapa perubahan, yaitu bahwa daerah
onderafdeeling krui dinaekkan statusnya menjadi
Ken (setingkat bunshu atau Kabupaten) dengan
ibukota-nya di Liwa, yang berada di bawah pemerintahan
penguasa militer Jepang di Lampung. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Lampung dibagi dalam 3 bunshu
(kabupaten), yakni Telukbetung, Metro, dan Kotabumi. Setiap bunshu atau kabupaten
terdiri dari beberapa kawedanan (gun) yang membawahi marga-marga. Kedudukan Ken Krui dalam
pemerintahan sejajar dengan 3 bunshu
yang sudah dibentuk sebelumnya oleh pemerintah militer
Jepang di Lampung saat itu. Namun
sayangnya kota Krui hanya menjadi pusat pemerintahan kawedanan (gun) Krui di bawah bunshu (kabupaten) Krui yang ber-ibukota di Liwa. Kota Kawedanan (gun) Krui hanya membawahi marga-marga
yang ada wilayah di pesisir barat Lampung.
Pada tahun 1946,
berdasarkan surat keputusan Gubernur Sumatera yang berkedudukan di Medan
tertanggal 17 mei 1946 nomer 113, maka struktur pemerintahan pada tingkat
Karesidenan hingga tingkat paling bawah di seluruh Pulau Sumatera adalah
meneruskan struktur pemerintahan yang
sudah ada sebelumnya (Belanda dan Jepang). Sistem pemerintahan marga di kota Kawedanan Krui Tahun 1947 mengalami
perubahan. Sistem pemerintahan marga dihapus karena
dianggap warisan kolonial. Sebagai gantinya pada 1953 diberlakukan sistem
pemerintahan nagari sebagaimana lembaga nagari di Sumatera Barat. Kota Kawedanan Krui dengan berpusat di
kota kawedanan Krui dimasukkan ke dalam administratif pemerintahan Kabupaten
Lampung Utara, di bawah Karesidenan Lampung. Wilayah pemerintahan kawedanan
Krui meliputi negeri pesisir selatan, negeri pesisir utara, negeri balikbukit.
Sistem nagari
ternyata tidak dapat berkembang di luar wilayah Minangkabau. Tahun 1970, sistem
pemerintahan marga berbentuk nagari dipersiapkan sebagai Daerah Tingkat III,
atau setingkat kecamatan. Belum sempat menjadi Daerah Tingkat III, sistem marga
berbentuk nagari secara resmi dibubarkan tahun 1976. Terbitnya Undang-undang Nomor 10 tahun 1975 tentang Pengaturan
Pemerintahan Daerah menghapus sistem pemerintahan tradisional di seluruh
Indonesia. Meskipun demikian, hingga kini struktur marga dan buay
masih hidup dalam masyarakat sebagai sistem kebudayaan lokal masyarakat pesisir barat Lampung.
Pasca
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, agar tidak terjadi kemacetan
administrasi pemerintahan, maka Negara Proklamasi Republik Indonesia pada
tanggal 5 September 1945 mengeluarkan instruksi bahwa seluruh kantor
pemerintahan dan jawatan berikut pegawai-pegawai yg sudah ada sebelumnya supaya
menaikkan bendera Merah Putih di tempat kedudukan masing-masing serta tetap
menjalankan aktifitas sebagai kantor pemerintahan dan kantor jawatan-jawatan
pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk. Pegawai-pegawai yang ada di
dalamnya adalah menjadi pegawai negeri Pemerintah Indonesia.
Pada
tahun 1948 pemerintah pusat RI mengeluarkan Undang-Undang (UU) No.10/1948 yang
membagi Pulau Sumatera ke dalam tiga pemerintahan Propinsi, yaitu: Propinsi
Sumatera Utara, Propinsi Sumatera Tengah, dan Propinsi Sumatera Selatan.
Karesidenan Lampung masuk dalam bagian Propinsi Sumatera Selatan dengan ibukota
pemerintahan yang berkedudukan di Palembang. Gubernur
pertama dari Propinsi Sumatera Selatan adalah Dr. M. Isa.
Sesuai dengan instruksi pemerintah
RI pusat 5 September 1945, maka seluruh pemerintahan yang sudah ada dan
sedang berjalan di daerah-daerah sejak sebelum proklamasi tetaplah
dipertahankan sebagai pemerintahan yang sah di daerah-daerah tersebut atas nama
pemerintah pusat Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Pemerintahan
Karesidenan Lampung tetaplah diteruskan berjalan di bawah kepemimpinan Mr.
Abbas.
Ada
satu hal yang tidak dapat terlupakan oleh sejarah bahwa di Lampung kemudian
terjadi peristiwa “pendaulatan” Mr. Abbas beserta beberapa kepala jawatan yang
ada di Karesidenan Lampung dari jabatan dan tugas-tugasnya. Peristiwa ini
terjadi pada 9 September 1946 yang dipelopori oleh apa yang menamakan diri
sebagai Panitia Perbaikan Masyarakat (PPM). Mereka kemudian menetapkan secara
sepihak Dr. Badriel Munir sebagai Residen Lampung yang baru dan Ismail (seorang
Inspektur Sekolah Rakyat) Sebagai wakil Residen. Alasan pendulatan adalah bahwa
tidak dapat mempercayakan kekuasaan pemerintahan kepada mantan pejabat dan
pegawai pemerintahan kolonial asing. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan
Instruksi Pemerintah tertanggal 5 September 1945. Namun dengan melihat
perkembangan yang ada di lapangan, maka Dr. Badriel Munir diakui secara sah
oleh Pemerintah Pusat sebagai Residen Lampung. Namun, restu keberadaan Ismail
selaku Wakil Residen Lampung tidak diberikan oleh pemerintah pusat, dan
dikirimlah seorang dari Pemerintah Pusat Jakarta, yaitu Raden Rukadi sebagai
Wakil Residen Lampung. Tanggal 29 November 1947 Dr. Badriel Munir mengundurkan
diri dari jabatannya selaku Residen Lampung. Selanjutnya Raden Rukadi diangkat
mejadi Residen Lampung, dan selaku wakilnya diangkatlah R.A. Basjid sebagai
Wakil Residen.
19
Desember 1948 terjadi Agresi Militer Belanda ke II, dan seluruh kota-kota besar
di Karesidenan Lampung berhasil dikuasai Belanda. Berdasarkan keputusan DPR
Karesidenan Lampung, bila Telukbetung sebagai ibukota Karesidenan Lampung
diserang dan diduduki Belanda maka Residen Lampung harus menyingkir ke daerah
Pringsewu, dan Wakil Residen harus tetap tinggal di Tanjungkarang untuk
menjalankan pemerintahan sementara. Namun yang terjadi justru sebaliknya, R.A
Basjid selaku Wakil Residen justru pergi meninggalkan Tanjungkarang menyingkir
ke Menggala melalui daerah Kasui. Akibatnya Raden Rukadi selaku Residen Lampung
ditangkap oleh Belanda dan dinyatakan oleh Belanda bahwa Lampung secara penuh
adalah daerah milik Belanda.
Oleh
pimpinan partai-partai dan pimpinan militer Republik Indonesia yang ada di
Lampung bersama anggota DPR Karesidenan Lampung ditunjuk dan diangkatlah Mr.
Gele Harun sebagai Residen Lampung yang kedudukan pemerintahannya
berpindah-pindah dari Talang Padang – Way Tenong – Bukit Kemuning. Setelah perjanjian
Roem Royen disetujui dan Tanjungkarang harus dikosongkan oleh Belanda, maka
pemerintahan Karesidenan Lampung di Tanjungkarang dipulihkan dengan Mr. Gele
Harus sebagai Residennya.
Pada
masa agresi Belanda kedua, daerah Kawedanan Kota Krui berikut
daerah-daerah wilayah administratif-nya di pesisir barat
Lampung tidak sempat diduduki Belanda, meskipun
daerah-daerah lain di Karesidenan Lampung telah jatuh ke tangan Belanda.
Berdasarkan pertimbangan letak strategisnya yang dekat dengan Palembang, maka
daerah pesisir barat Lampung oleh pemerintah Republik Indonesia dijadikan
daerah basis perjuangan militer dan basis pemerintahan darurat militer Republik
Indonesia untuk Karesidenan Sumatera Selatan, ketika Palembang sebagai pusat
pemerintahan sipil Karesidenan Sumatera Selatan jatuh ke tangan Belanda.
Artinya, secara administratif kota Kawedanan Krui dan daerah-daerah pesisir barat
Lampung saat kondisi darurat itu ditempatkan kedudukannya berada di bawah
pemerintah darurat militer Sumatera Selatan.
Pasca
penyerahan kedaulatan seluruh wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di
Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 17 Agustus
1949, daerah pesisir barat Lampung
kembali dimasukkan ke dalam administrasi Kabupaten Lampung Barat sebagai bagian
dari Karesidenan Lampung. Pada tanggal 10 Februari 1950 pemerintah darurat
Sumatera Selatan menyerahkan kedaulatan pemerintahannya kepada Republik
Indonesia di Yogyakarta serta menyatakan setia pada Republik Indonesia. Pada
tingkat nasional, tanggal 17 Agustus 1950 DPR RIS, Senat RIS, Presiden RIS (Ir.
Soekarno), dan Presiden Republik Indonesia (Mr. Asaat) menandatangani Piagam
Persetujuan pembentukan NKRI yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah bekas
RIS. Pada tanggal itu pula Mr. Assaat menyerahkan kembali jabatan Presiden RI
kepada Ir. Soekarno.
Permasalahan
muncul di wilayah pesisir barat Lampung, karena letaknya yang berdekatan dengan
kota Palembang dan Karesidenan Bengkulu, maka untuk menetapkan status
keberadaan administratif pemerintahannya dilakukanlah dengan cara plebisit
atau pemungutan suara. Pada tanggal 1 Januari 1951 dilaksanakanlah plebisit di daerah
pesisir barat Lampung. Plebisit
diikuti sebanyak 50 kepala kampung.
Hasil dari pelaksanaan plebisit tersebut ternyata 46 kampung yang
memilih bergabung dengan Karesidenan Lampung, 2 kampung memilih bergabung
dengan Karesidenan Bengkulu dan 2 kampung lain memilih bergabung ke
Palembang. Sehingga sejak tanggal 1
Januari 1951, dalam administrasi pemerintahan, daerah pesisir barat Lampung
secara resmi masuk kembali kedalam wilayah Kabupaten Lampung Utara, Karesidenan
Lampung karena secara kultural memang penduduk Kabupaten Lampung Barat
berbahasa dan berbudaya Lampung.
Pada
saat Lampung memperoleh statusnya sebagai daerah Propinsi pada tanggal 13 Februari 1964 yang didasarkan
pada keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 3/ 1964 tentang pembentukan daerah
Swatantra Tingkat I Lampung, maka secara otomatis daerah pesisir barat Lampung kembali
masuk menjadi bagian Kabupaten Lampung Utara dari Propinsi yang baru, yaitu
Propinsi Lampung. Naiknya status Lampung dari sebuah Karesidenan menjadi sebuah
Propinsi merupakan modal yang besar untuk berkesempatan lebih mengoptimalkan
pengelolaan seluruh potensi sumber daya di Lampung untuk kesejahteraan
masyarakat di Lampung.
Propinsi Lampung pada masa awal terbentuk
dengan terdapat tiga Kabupaten yang sudah ada sebelumnya (masa Karesidenan). Karena
begitu luasnya wilayah yang harus di kelola dan dibangun oleh Propinsi Lampung,
maka pada masyarakat pesisir barat Lampung muncul wacana baru dengan tujuan
untuk mendukung dan menopang pemerintahan Propinsi Lampung dalam membangun
daerahnya agar lebih optimal, yaitu jalan wacana usulan pembentukan kabupaten
baru untuk wilayah Lampung bagian pesisir barat. Hal tersebut sangat logis
karena letak daerah tersebut sangat jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten
Lampung Utara dan prasarana maupun sarana transportasi untuk ukuran saat itu
sangat menyulitkan dalam segala hal bila ada kaitannya dengan urusan-urusan administratif
dengan pihak Kabupaten. Pada tahun 1967 di kota Kawedanan krui dilaksanakan
musyawarah bersama antara Keluarga Pelajar dan Mahasiswa (KKM) asal pesisir
barat Lampung dan tokoh-tokoh masyarakat adat pesisir barat Lampung, yang
menghasilkan keputusan terbentuknya Pantia Nasional dan Panitia Eksekutif untuk
pembentukan kabupaten baru dengan nama Kabupaten Lampung Barat (menyesuaikan
sebutan atau nama daerah kabupaten lain, yaitu lampung Utara, Lampung Tengah,
dan Lampung Selatan, yang sudah ada yang memakai letak geografisnya di Lampung
untuk nama kabupatennya) dengan ibukota di Krui.
Hasil dari musyawarah bersama tersebut
mendapat tanggapan positif dari pemerintah Kabupaten Lampung Utara pada saat
itu. Aspirasi masyarakat pesisir barat Lampung tersebut disampaikan oleh pihak
Kabupaten Lampung Utara kepada pemerintah Propinsi Lampung dalam sumbang saran
resmi kepada untuk Propinsi Lampung yang dituangkan dalam Surat Bupati Lampung
dengan nomor PU.000/1232/BANK.LU/1978 tertanggal 27 September 1978. Aspirasi
masyarakat pesisir barat Lampung yang tertuang dalam surat Bupati Lampung Utara
mendapat respon dan dukungan positif pihak Propinsi dengan cara diteruskannya
aspirasi masyarakat pesisir barat Lampung ke Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia. Pada tahun 1991 terbitlah Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia dengan nomor 17/1991 yang berisi petunjuk pelaksanaan Undang-Undang
nomor 6/1991 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat.
Pada tanggal 24 September 1991 Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota
kabupatennya di kota Liwa diresmikan berdiri oleh Menteri Dalam Negeri,
sekaligus melantik Pejabat Bupati Lampung Barat.
Pada tahun 1997 hingga 1998 terjadi
gerakan reformasi di Indonesia yang intinya menginginkan terwujudnya masyarakat
yang berkeadilan yang terbebas dari unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme,
atau dibiasa disingkat (KKN). Salah satu produk dari gerakan reformasi ini
adalah dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah No.22 tahun 1999 oleh
pemerintah Republik Indonesia, yang intinya memberikan kembali kewenangan dan
kesempatan kepada daerah-daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sehingga
diharapkan akan lebih mempercepat tercapainya kesejahteraan yang berkeadilan di
daerah-daerah.
Undang-Undang otonomi daerah segera saja
mendapat respon yang antusias oleh masyarakat di daerah-daerah di seluruh
Indonesia. Tak ketinggalan masyarakat di pesisir barat Lampung juga menyuarakan
keinginannya untuk adanya tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang otonomi daerah
di Propinsi Lampung dalam wujud nyata yaitu adanya pemekaran daerah pesisir
barat Lampung sebagai sebuah kabupaten yang berdiri sendiri dan punya
kewenangan penuh untuk mengatur dan membangun daerah-nya.
Pada tanggal 20 Februari 2005, oleh para
tokoh masyarakat pesisir barat Lampung dibentuk Panitia Persiapan Pembentukan
Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung. Panitia persiapan ini meliputi tiga
kelompok wilayah kerja kepantiaan yaitu: wilayah kerja panitia persiapan di
tingkat kabupaten induk (Kabupaten Lampung Barat) yang berpusat kedudukan di
Krui, wilayah kerja panitia persiapan di tingkat Propinsi Lampung yang
berkedudukan di Bandar Lampung, dan wilayah kerja panitia persiapan di tingkat
pusat yang berkedudukan di Jakarta.
Pantitia Persiapan Pembentukan Kabupaten
Pesisir Barat Propinsi Lampung yang ada pada seluruh wilayah kerja-nya, segera
secara resmi mensosialisasikan diri tentang keberadaan, program serta aktifitas
kerja, dan tujuannya kepada masyarakat Lampung dan secara nasional. Tanggapan dalam bentuk respon positif
mulai berdatangan sebagai bentuk dukungan. Liputan-liputan dan tanggapan
positif oleh pers non elektronik (koran) maupun non elektronik (radio dan
televisi) lokal maupun nasional mengenai keberadaan dan aktifitas Pantitia Persiapan
Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung semakin gencar
berdatangan. Seminar-seminar dan kajian-kajian tentang wacana pemekaran wilayah
pesisir barat Lampung menjadi kabupaten tersendiri yang terpisah dari kabupaten
induk-nya (Kabupaten Lampung Barat) cukup banyak dilakukan, baik oleh kalangan
akademisi maupun masyarakat umum.
Berbekal respon positif dan dukungan dari
berbagai pihak, Pantitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi
Lampung segera bekerja melengkapi persyaratan yang diperlukan, yaitu (1)
kelengkapan persyaratan administratif, teknis, dan fisik, sebagaimana diminta
dalam Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, (2) Kelengkapan persyaratan pembentukan dan
kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah, sebagaimana diminta
dalam Peraturan Pemerintah No.129/2000.
Bundel berkas Usul Pemekaran Wilayah dan
Persyaratan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung yang telah
berhasil disusun/dipenuhi oleh Pantitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Pesisir
Barat Propinsi Lampung pada tahun 2005 disetujui dalam sidang DPRD Kabupaten
Lampung Barat yang dipimpin oleh ketua DPRD Lampung Barat (Dadang Sampurna) dan
kemudian setelah itu mendapat persetujuan oleh Bupati Lampung Barat (Erwin Nizar
MT dan Bupati setelahnya yaitu Muchlis Basri).
Pada sidang DPRD Propinsi Lampung yang
dipimpin oleh Ketua Dewan (Indra Karyadi, S.H), Bundel berkas Usul Pemekaran
Wilayah dan Persyaratan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung
juga mendapat respon positif dan disetujui. Setelah mendapat persetujuan dari
DPRD Propinsi, Gubernur Propinsi Lampung (Syahruddin ZP) juga memberikan respon
positif dan menyetuji-nya untuk diusulkan kepada pemerintah Pusat Republik
Indonesia melalui kementrian Dalam Negeri.
Bundel berkas Usul Pemekaran Wilayah dan
Persyaratan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung oleh
kementrian Dalam Negeri segera diagendakan untuk dibawa ke dalam sidang DPR
Pusat. Pada sidang DPR Pusat yang dipimpin oleh H.R. Agung Laksono, mendapat
respon positif dan disetujui untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat. Pada
tanggal 22 April 2013, Presiden Republik Indonesia (Soesilo Bambang Yudhoyono)
atas nama pemerintah pusat Republik Indonesia menyetujui pengesahan daerah
pesisir barat barat Lampung memperoleh statusnya sebagai kabupaten baru hasil
pemekaran dari kabupaten induk-nya (kabupaten Lampung Barat). Oleh Kementrian
Dalam Negeri Republik Indonesia ditunjuk dan diangkat bapak Herlani, SE sebagai
Pejabat Sementara (PJS) Bupati Lampung Barat hingga nantinya dilaksanakan
pemilu di daerah Kabupaten Pesisir Barat, Propinsi Lampung.
Pesisir Barat Lampung saat ini telah
menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Pesisir Barat dengan ibukota
kabupatennya adalah kota Krui. tepatnya sejak disahkannya Daerah Otonomi Baru
(DOB) Kabupaten Pesisir Barat, oleh pemerintah pusat pada Bulan April 2013
lalu. Ada sebelas kecamatan diwilayah Kabupaten Pesisir Barat, yaitu Kecamatan Bengkunat Belimbing, Bengkunat,
Ngambur, Pesisir Selatan, Krui Selatan, Pesisir Tengah, Way Krui, Karya
Penggawa, Pesisir Utara, Lemong, dan Pulau Pisang. Ibukota Kabupaten Pesisir
Barat sesuai dengan UU no 22 tahun 2012 tentang Pembentukan DOB Pesisir Barat
terletak di krui yang tertulis pada pasal 7 dan penjelasannya, yang dimaksud
krui yaitu wilayah Kecamatan Pesisir Tengah.
Secara kependudukan dapat dipisahkan
berdasar wilayah di pesisir Tengah, karya penggawa, Krui selatan, dan Way Krui
merupakan pusat kota pelabuhan tersebut
(dalam sejarah krui), sedang
kecamatan Lemong dan Pesisir Utara merupakan wilayah susulan terbuka seiring
dengan dibukanya transportasi darat, pembangunan jalan dari krui menuju
Provinsi Bengkulu sekitar tahun 1990. demikian juga dengan ngambur, bengkunat
dan bengkunat belimbing merupakan wilayah baru terbuka setelah akses jalan
terhubung antara Krui-Kota agung Tanggamus sekitar tahun 2000-an.
Sektor Pariwisata merupakan potensi
andalan Kabupaten Pesisir Barat, setiap tahun ratusan bahkan ribuan turis datang ke krui, untuk berlibur,
berselancar dan menikmati keindahan pantainya. Selain pantai krui memiliki dua
pulau eksotis yaitu pulau pisang dan pulau Betuah, yang alami dan keindahannya
tidak kalah dengan pulau-pulau destinasi wisata di dunia, Hanya memang potensi
itu belum tereksplorasi.
Akses perhubungan dari dan menuju Krui,
bisa dilakukan melalui darat, laut, dan Udara. Di Krui terdapat Bandara Serai,
Pelabuhan Kuala Stabas, dan Jalan nasional lintas Barat yang melewati seluruh
wilayah krui yang berada digaris pantai sepanjang 200 Kilometer lebih. Potensi
hasil bumi dan hutan, juga bagus dan memiliki nilai jual tinggi, seperti damar
mata kucing yang merupakan getah damar kualitas terbaik didunia dan telah
diakui internasional yang berasal dari krui. Belum lagi hasil bumi lainnya
seperti cengkeh, kopi, lada, kakao. krui
juga merupakan wilayah pertanian khususnya di Kecamatan Pesisisr Selatan yang
memiliki ribuan hektar sawah dengan sistem pengairan irigasi.
Kabupaten
Pesisir Barat merupakan sebuah kabupaten termuda di Provinsi
Lampung. Pesisir Barat merupakan hasil pemekaran Kabupaten Lampung Barat, yang disahkan pada
tanggal 25
Oktober 2012.
Kabupaten Pesisir Barat terdiri dari
11 kecamatan, yang meliputi:
- Bengkunat Belimbing
- Bengkunat
- Ngambur
- Pesisir Selatan
- Krui Selatan
- Pesisir Tengah
- Way Krui
- Karya Penggawa
- Pesisir Utara
- Lemong
- Pulau Pisang
II. Selayang Daerah dan Masyarakat
Wilayah pesisir barat Lampung
terbagi dalam dua tipe geografis, yaitu: tipe wilayah geografis dataran tinggi dan tipe wilayah
geografis pantai (pesisir). Pada masyarakat daerah dataran tinggi, sektor
ekonomi didominasi oleh aktivitas perkebunan, terutama kopi dan lada. Pada
masyarakat daerah pesisiran aktivitas ekonominya lebih beragam.
Bentang alam
pesisir Lampung Barat mencakup tiga karakter ekologis, yaitu: (1) daerah
perkebunan dan pertambangan; (2) daerah persawahan; (3) dan daerah pantai yang
meliputi: sektor perikanan, sarang burung walet, pertambangan, serta
pariwisata. Adanya karakter yang demikian tersebut, menjadikan pesisir barat
Lampung sebagai daerah potensial akan sumber daya alam yang dapat memberikan
kemakmuran bagi penduduk yang tinggal di dalamnya.
Aktivitas ekonomi masyarakat di pesisir barat Lampung, tidak terlepas dari karakteristik daerahnya yang selain luas dan
subur tanahnya, secara geografis terletak pada posisi yang strategis. Daerah
pesisir barat Lampung merupakan daerah yang terletak di ujung selatan bagian
barat dari Pulau Sumatera, dan mempunyai pantai yang landai sebagai tempat
persinggahan rute pelayaran perdagangan beranting dari Malaka-Aceh-Minangkabau-Lampung-Jawa.
Karakter ekonomi masyarakat pesisir barat Lampung, dengan demikian terbentuk
dalam kontek sebagai masyarakat ekonomi di daerah lalu lintas perdagangan yang
cenderung terbuka dan mudah dijangkau oleh konsumen dunia luar (masyarakat luar
Lampung).
Luas daerah, kesuburan tanah, letak strategis, dan
karakter masyarakatnya yang terbuka, membuat daerah pesisir barat Lampung
menarik perhatian bagi orang-orang dari luar. Perjalanan sejarah mencatat bahwa
oleh karena karakteristik yang dipunyainya membuat daerah yang oleh pemerintah
kolonial Belanda disebut sebagai Onderafdelling Krui pernah menjadi
ajang perebutan kekuatan-kekuatan dari luar untuk dapat menanamkan pengaruhnya.
Tercatat dalam sejarah Indonesia bahwa pesisir barat Lampung pernah menjadi
ajang perebutan antar kekuatan, seperti: Kasultanan Demak dan Portugis;
Kasultanan Palembang dan Kasultanan Banten;
Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris; Kerajaan Belanda dan Jepang;
Propinsi Lampung dengan Propinsi Bengkulu, dan Propinsi Lampung dengan Propinsi
Sumatera Selatan.
Daerah pesisir barat Lampung dalam kedudukannya
sebagai daerah jalur pelayaran perdagangan yang menghubungkan Sumatera dan
Jawa, serta ditopang dengan kondisi tanah yang subur, telah membentuk penduduknya
menjadi sebuah masyarakat interpreneur yang
cukup maju. Masyarakat di
pesisir barat Lampung,
mempunyai potensi kemandirian yang tinggi.
Pertanian tanaman bernilai ekonomis seperti: lada,
cengkeh, damar, kopi, dan rotan, sangat berkembang di pesisir barat Lampung.
Potensi ekonomi perikanan, tambang, dan sarang burung walet, juga merupakan
aspek dominan di pesisir barat Lampung. Melimpahnya komiditi tanaman ekonomis,
serta letak geografis yang strategis telah menjadikan wilayah pesisir barat
Lampung sebagai daerah asal, persinggahan, dan tujuan dari ekonomi perdagangan.
Segala potensi ekonomi tersebut secara historis telah menjadikan terutama kota Krui yang terletak
di pesisir barat Lampung punya sejarah gemilang sebagai bandar (pasar) jual
beli (perdagangan) hasil tanaman-tanaman bernilai ekonomis yang ramai.
Pemerintah kolonial Inggris (EIC) di Lampung Barat pernah membangun pelabuhan
dagang dan sekaligus sebagai pangkalan militer di kota Krui, yaitu Port Krui.
Pemanfaatan Port Krui dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda
maupun oleh pemerintah pendudukan Jepang.
III. Selayang Budaya
Sebagaimana etnis Lampung pada umumnya, masyarakat pesisir barat Lampung menganut sistem kekerabatan patrilinea-primogenitur, artinya bahwa
seluruh harta pusaka tanah, rumah, pekarangan, serta seluruh harta kekayaan
sebuah keluarga hanya akan diwariskan pada anak laki-laki tertua. Dengan
demikian harta pusaka tanah tidak pecah terbagi-bagi. Anak laki-laki lainnya
tidak mendapat warisan harta pusaka, dan apabila mereka tetap tinggal di desa
sebagai petani, mereka hanya sebagai petani penggarap tanah pusaka yang
dikuasai oleh kakak laki-laki tertua mereka.
Meskipun demikian, realitas di lapangan lebih banyak menunjukkan bahwa mereka
lebih suka pergi merantau meninggalkan desanya untuk mencari takdir
kehidupannya sendiri.
Inti penduduk desa, dari sebuah kolektif masyarakat pesisir barat Lampung adalah
orang-orang lelaki anak tertua sebagai penguasa harta pusaka keluarga yang
tidak terpecah-pecah. Mereka itu tetap tinggal di desa dan menyebabkan bahwa di
setiap desa Saibatin tersebut terdapat suatu golongan warga desa inti yang
mantap, yang mempunyai rasa tanggung jawab yang maksimal terhadap seluruh
warisan harta pusaka keluarga (terutama tanah), dan yang merasakan suatu
loyalitet yang besar terhadap komunitinya. Kecuali mantap karena suatu
mobilitet yang minimal dari golongan inti penduduk desa, yang disebabkan oleh
karena unsur dasar dalam struktur sosialnya, jumlah penduduk desa juga mantap
sepanjang masa oleh karena sistem sosial yang berlaku.
Bagi masyarakat pesisir barat Lampung, sistem
kekerabatan patrilenial-primogenitur sebagaimana
yang mereka anut tidak hanya merupakan center dari adat pewarisan dan pola menetap
saja, melainkan juga merupakan hakikat kehidupan mereka itu sendiri.
Perekonomian, struktur sosial, sistem perkawinan, ritual, hukum adat, masyarakat pesisir barat Lampung pada dasarnya selalu berpusat pada sistem
kekerabatan mereka. Dengan demikian, pembicaraan megenai sistem kekerabatan masyarakat
pesisir barat Lampung dapatlah mencakup segala aspek kehidupan mereka. Salah
satunya, yaitu berkenaan dengan aktivitas ekonomi pertanian masyarakat pesisir barat Lampung.
Berpijak dari sistem kekerabatan masyarakat
pesisir barat Lampung, maka secara teoritis jumlah penduduk inti desa sebagai
petani pemilik tanah (lahan pertanian) tidaklah bertambah, demikian juga
warisan pusaka keluarga dalam bentuk tanah (untuk pertanian) tidaklah mungkin
mengalami perluasan areal. Pertambahan dalam hal jumlah (bukan luasan)
berkenaan dengan tanah milik memang dimungkinkan dengan jalan pembelian tanah
dari klen lain, namun yang demikian tersebut sangat jarang ditemui, mengingat
bentuk penjualan warisan tanah pusaka sangatlah jarang terjadi oleh sebab
adanya rasa tanggung jawab atas “nilai” warisan leluhur bagi sebuah klen yang
sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat pesisir barat Lampung.
Aktivitas pertanian asli masyarakat pesisir barat Lampung adalah berkebun (tanaman ekonomis
seperti: lada, kopi, cengkeh, damar) dan
berladang (tanaman pangan). Pertanian kebun mereka bersifat komersial (untuk
dijual dengan keuntungan), sedangkan pertanian ladang pada masyarakat pesisir barat Lampung sifatnya
adalah subsisten atau hanya untuk
pemenuhan kebutuhan pangan sendiri (bukan untuk dijual). Pertanian kebun
dilakukan pada lahan-lahan pertanian yang diwarisi dari para primus interparis (cikal-bakal)
terdahulu di setiap pekon/tiyuh
(kampung/desa) yang kuantitas luasannya tidak pernah bertambah dari dulu hingga
sekarang, sedangkan perladangan pangan dilakukan secara berpindah gilir pada
lahan-lahan hutan yang terletak tidak jauh dari aliran sungai.
Kebun-kebun
biasanya letaknya dekat dengan areal hutan, sebab memang pada jaman para
pioner pembuka sebuah pekon/tiyuh, jauh sebelum republik ini
ada, dan bahkan jauh sebelum kedatangan kolonialisme Eropa di Lampung,
kebun-kebun tersebut dahulunya adalah bagian lahan hutan yang subur yang
dipilih dan dianggap cocok untuk tanaman-tanaman bernilai ekonomis oleh mereka.
Sebenarnya, bahwa kampung-kampung tua yang ada itupun dibentuk oleh para pioner
masyarakat pesisir barat Lampung dengan jalan membuka lahan-lahan hutan yang
ada.
Pada pertanian pangan, sistem perladangan
dilakukan secara rotasi atau pindah gilir. Perladangan tanaman pangan yang
dilakukan secara berpindah-pindah dari lokasi lahan yang satu ke lahan yang
lain merupakan salah satu aspek dari
strategi adaptasi ekologis (lingkungan) dalam pertanian pangan pada masyarakat
pesisir barat Lampung. Kearifan ekologis
dalam sistem perladangan ini justru terletak pada caranya yang berpindah-pindah
lahan, tujuannya adalah mengistirahatkan
lahan tanah-hutan ladang yang telah dibuka atau diolah beberapa kali dalam
siklus ladang, kemudian ditinggalkan dalam rentang waktu beberapa tahun sebelum
dipergunakan lagi sebagai lahan perladangan20.
Perladangan pada masyarakat pesisir barat Lampung hanya
dilakukan pada lahan-lahan yang tidak jauh dari sungai atau tidak masuk ke
dalam hutan, juga kuantitas lahan yang dipergunakan tidaklah besar-besaran.
Perladangan tanaman pangan pada masyarakat pesisir barat Lampung yang sifatnya subsisten tentunya tidaklah memerlukan
areal yang luas, sebab jumlah kepala yang harus dihidupi cenderung stabil
(tetap), yaitu penduduk inti desa dan keluarganya. Sistem perladangan masyarakat pesisir barat Lampung terdiri dari aktivitas sebagai berikut: pemilihan lahan, penebasan,
pembakaran, penanaman padi, ngerepong.
Tiga aktivitas yang pertama merupakan kegiatan pembersihan vegetasi-vegetasi
lama, sedangkan dua aktivitas terakhir merupakan kegiatan kontrol terhadap
vegetasi-vegetasi baru. Aktivitas-aktivitas tersebut tampak sebagaimana sebuah
peniruan terhadap sistem suksesi pertumbuhan kembali secara alamiah, yaitu
dengan adanya teknis pemutus-api (firebreaks) sebagaimana yang dilihat pada setting lingkungan alam di sekitar
mereka.
Pemilihan lokasi untuk lahan adalah cenderung pada
areal yang tidak terlalu jauh dari aliran sungai, dan yang letaknya lebih
rendah dari sungai tersebut22. Biasanya dipilih areal yang cukup
terbuka sehingga cukup sinar matahari dan sedapat mungkin menghindari lokasi
yang banyak ditumbuhi tanaman keras untuk memudahkan pengerjaan pengolahannya.
Oleh sebab itu biasanya pula bentuk
lahan-lahan perladangan ulun Saibatin
tidak beraturan, tidak sebagaimana sawah-sawah di Jawa. Pondok sederhana
didirikan di dekat ladang dari kayu-kayu bekas tebangan beberapa tanaman keras
yang ada di areal calon ladang, untuk tempat tinggal sementara selama
berlangsungnya proses penggarapan lahan hingga proses pemanenan selesai. Hasil
panen yang diperoleh dibawa ke pekon/tiyuh
tempat domisili tetap mereka.
IV. Selayang Persepsi Tentang Hutan
Pandangan atau pemahaman masyarakat pesisir barat Lampung mengenai hutan dapat diketahui dari
kategori fungsi hutan bagi mereka. Mereka mempunyai anggapan bahwa hutan dan
lahan harus dilihat kegunaannya secara bersamaan, artinya bahwa lahan tidak
mempunyai makna apabila tidak dilihat sekaligus dengan hutannya. Bagi masyarakat pesisir barat Lampung, makna antara hutan dan lahan tidak
terpisahkan. Dengan demikian, dalam hal pemanfaatan lahan-hutan harus dilihat
feadahnya secara bersama-sama.
Pada konteks kehidupan ekonomi masyarakat pesisir barat Lampung,
hutan mempunyai fungsi sebagai berikut:
- Hutan sebagai lahan subsisten, yaitu hutan untuk lokasi ladang padi dan pemenuhan kebutuhan kayu untuk tempat tinggal sendiri. masyarakat pesisir barat Lampung pada dasarnya tidak menjadikan bahan pangan (beras) dan bahan bangunan (kayu) sebagai komoditi untuk diperjualbelikan.
- Hutan sebagai lahan ekonomis klen, yaitu hutan untuk lahan perkebunan (kopi, cengkeh, lada, damar dll). Hasil pemanfaatan hutan kategori inilah yang diperdagangkan.
- Hutan sebagai lahan ekonomis umum (lintas klen), yaitu hutan untuk diambil hasil non kayu (damar, karet, rotan, madu, dll) untuk diperdagangkan.
- Hutan repong yaitu hutan buah-buahan (bekas lahan-lahan perladangan). Hasil buah-buahan yang diambil dapat dimanfaatkan untuk dijual (bersifat ekonomis) maupun untuk dikonsumsi sendiri (bersifat subsisten).
Selain berdasarkan
fungsi, pemaknaan kesatuan antara hutan dan lahan dalam konteks kehidupan ekonomi masyarakat pesisir barat
Lampung, di dasarkan juga pada hak kepemilikan dan hak pemanfaatan
hutan-lahan.
Pada masyarakat
pesisir barat Lampung, hak kepemilikan dan hak pakai hutan adalah sebagai
berikut.
- Hutan sebagai lahan subsisten, kepemilikannya umum dan hak pakainya juga umum. Bersifat lintas klen.
- Hutan sebagai lahan ekonomis klen, kepemilikannya klen dan hak pakainya klen. Bersifat klen oriented. Biasanya merupakan pusaka warisan para primus interparis pembuka daerah dan pendiri klen. Kuantitas luasannya tidak pernah bertambah dari generasi ke generasi.
3. Hutan sebagai lahan ekonomis umum (lintas
klen), yaitu hutan untuk diambil hasil
non kayu-nya (damar, karet, rotan, madu, dll).
4. Hutan repong, kepemilikannya umum dan hak pengambilan hasilnya juga bersifat umum
(lintas klen), bahkan orang asing yang kebetulan sedang berada di hutan
tersebut juga diperbolehkan mengambil buah-buahan yang ada.
Konsep hutan yang identik dengan habitat pepohonan
seharusnya tetaplah terjaga di dalam pemaknaan antara hutan dan lahan pada masyarakat pesisir barat Lampung yang tinggal
di sekitarnya. Pemanfaatan hutan-lahan yang tidak sesuai dengan kedua kategori fungsional
tersebut di atas, dahulu dianggap merupakan pelanggaran adat. Sanksi adat akan
dijatuhkan pada si pelaku. Pada masyarakat pesisir barat Lampung, perilaku
pemanfaatan yang menyimpang dianggap merusak hutan dan dianggap pula dapat
merusak kehidupan budaya dan ekonomi. Bagi masyarakat pesisir barat Lampung, kehidupan manusia harus selaras
(bijaksana) terhadap hutan-lahan.
Referensi:
Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung, USUL PERSYARATAN PEMBENTUKAN KABUPATEN
PESISIR BARAT PROPINSI LAMPUNG, 2005.
Imron, Ali, Perubahan Pola Perkawinan Bujujokh dan Semenda Pada Masyarakat Saibatin Lampung Barat, Tesis Program
Pascasarjana UGM, 2001.
Daeng J Hans, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan
Antropologis, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar Offset, 2000.
Dove, R Machael, Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia
dalam Modernisasi, Yogyakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan,
Jakarta: PT. Gramedia, 1975.
Kuntowijoyo, Budaya
dan Masyarakat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999.
Lahajir, Etnologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang, Yogyakarta:
Galang Press, 2001.
Laksono, P.M.(et)., Perempuan di Hutan Mangrove:Kearifan Ekologi
Masyarakat Papua, Yogyakarta, Pusat Studi Asia Pasifik UGM kerjasama Galang
Pess, 2000.
Hahiwang Harhong Nunas yaitu sebuah syair tradisi lisan mengenai Haghong= arang/cikal bakal, Nunas= tunas/generasi keturunan dari Penggawa Lima, sebagai Primus Interparis dan leluhur ulun Krui di Lampung Barat.
Santoso,
Harianto, F., Profil Daerah Kabupaten dan
Kota, Jakarta, 2001.
Spradey P.
James, Metode Etnografi, Terj. The Etnographic Interview, Misbah Zulfa Elizabeth, Yogyakarta, Tiara
Wacana Yogya, 1997.
Zoetmulder,
P.J., Cultuur, Oost and West, Amsterdam: P.J. van der
Peet, 1951.